Dampak Perubahan Iklim di Antarktika: Gunung Es Runtuh, Habitat Penguin Diancam
Perubahan iklim semakin nyata, khususnya di Antarktika.
Gerry Utama, seorang peneliti geomorfologi Antarktika dari Indonesia di Saint Petersburg State University, mengatakan bahwa selama ekspedisinya ke Antarktika, dia melihat bongkahan es besar yang terapung bahkan sebelum mencapai perairan es.
Gerry mengatakan dalam podcast, “Kalau mau lihat perubahan iklim itu ke Antarktika. Kita waktu kita mulai ekspedisi dari Cape Town (Afsel), dua hari itu masih di laut selatan, laut samudera selatan, dan itu belum ada es, itu kita sudah lihat iceberg itu sudah mengambang, dalam ukuran yang besar.”
Sangat Berpengaruh pada Ekosistem
Fenomena ini adalah salah satu dari banyak bukti bahwa kutub selatan mengalami peningkatan suhu yang signifikan.
Gunung es terbesar di dunia, A23a, berukuran lebih dari dua kali London, hanyut menuju Georgia Selatan dan mengancam habitat anjing laut dan penguin.
Orang-orang yang biasa mencari makan dan membesarkan anak-anaknya di dalam air harus berenang lebih jauh, menghabiskan lebih banyak energi, dan akhirnya menghasilkan angka kematian anak yang lebih tinggi.
“Gunung es pernah terdampar di sana di masa lalu dan itu telah menyebabkan kematian yang signifikan bagi anak penguin dan anak anjing laut,” kata Andrew Meijers, ahli oseanografi fisik di Survei Antartika Inggris, Jumat (24/1) dikutip dari AFP.
Perubahan juga dapat diamati dari darat. Sejak tahun 1986, tutupan tanaman Semenanjung Antarktika telah meningkat lebih dari sepuluh kali lipat, menurut penelitian terbaru yang diterbitkan dalam Nature Geoscience.
Menurut Dr. Thomas Roland dari Universitas Exeter, “Ini bukti bahwa bahkan wilayah sekeras Antarktika pun tak luput dari perubahan iklim.” Lumut hijau sekarang menutupi lebih dari 12 km2 wilayah yang dulunya tertutup es.
Musim Dingin Tak Lagi Sama Selama enam bulan ekspedisinya, Gerry menyaksikan sendiri bagaimana es mencair bahkan di musim dingin.
Di tebing-tebing pulau, di daratan benua langsung, gletser benar-benar ambles. Gerry mengatakan, “Jadi di depan mata pernah (lihat)”. “Harusnya es tetap ada di musim dingin, tapi kenyataannya volumenya tetap berkurang,” katanya.
Gerry menjelaskan bahwa perubahan suhu global adalah siklus alam yang terjadi dari waktu ke waktu. Namun, kali ini, dampaknya jauh lebih cepat dan lebih besar.
Jadi, kerentanan iklim berdampak pada manusia, jadi saya lebih suka menyebutnya kerentanan iklim. Gerry menyatakan, “Tapi jika global warming itu sudah pasti secara periode bahwa Bumi mengalami dinamika iklim.”
Ia mengatakan bahwa perubahan suhu saat ini sangat besar dan berdampak pada keseimbangan lingkungan. “Sehingga maka muncul istilah-istilah baru antroposen ya, bagaimana paham bumi ini telah dikontrol oleh aktivitas manusia,” katanya.
Di masa lalu, Antarktika dianggap sebagai benteng es yang abadi.
Itu sekarang menjadi “laboratorium hidup” untuk memahami dampak pemanasan global karena perubahan iklim.
Suhu Bumi lebih panas di zaman tersier, ketika kepulauan Indonesia terbentuk. Gerry mengatakan, “Tapi bedanya, kali ini manusialah yang menjadi korbannya.”